Laman

Kamis, 24 Mei 2012

Cerita Dongeng Cenaka Burai (Asal Mula Bukit Sampuraga) versi warga Kecamatan Lamandau dan Kecamatan Belantikan Raya

Penyalin : Zamrolly Purnama Kawung, S.Pd
Diceritakanlah ada seorang putri di negeri Sarang Paruya yang yang cantik jelita (diyakini masyarakat Kabupaten Lamandau Kerajaan tersebut sekarang berada di wilayah Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah) namanya Dayakng Ilukng. Dayakng Ilukng yang digambarkan memiliki keindahan tubuh yang sangat mempesona, kulitnya lembut bagai sutra, rambutnya panjang ikal bak mayang mengurai, wajahnya elok berseri bagaikan bulan purnama, pipinya bak pauh dilayang, bibirnya merah bagai buah delima, alis matanyanya bagai semut beriring, kakinya indah bak padi bunting sungguhlah sempurna sehingga banyak pemuda yang sangat mengaguminya.

Adalah seorang bangsawan muda yang tampan, gagah berani dan sering berlayar menaklukan samudera dari sebuah kerajaan di Pagaruyung, Minangkabau namanya Patih Nan Sebatang (tidak jelas apakah Patih Nan Sebatang ini sama dengan Datuk Perpatih Nan Sebatang, tokoh legendaris masyarakat Minangkabau). Ia memiliki kesenangan berlayar sehingga pada suatu hari kapalnya diterpa badai dan gelombang yang maha dahsyat. Ketika kapalnya luluh lantak dihantam gelombang dan badai, dia terseret arus laut hingga terdampar di pesisir negeri Sarang Paruya, dia ditemukan oleh warga dan diselamatkan sehingga tidak menjadi korban dalam peristiwa itu

Alkisah Patih Nan Sebatang tinggal di Negeri Sarang Paruya untuk pengobatan karena tubuhnya terdapat banyak luka dan memar akibat terkena puing-puing kapalnya dan hantaman batu-batu karang selama dia terdampar dilaut. Setelah sekian lama Patih Nan Sebatang dirawat oleh warga setempat akhirnya kondisi tubuhnya berangsur membaik dan sembuh. Saat itu dia ingin pulang ke kampung halamannya di Pagaruyung, namun dia sudah tidak punya kapal lagi, karena kapalnya sudah hancur berkeping saat peristiwa naas menimpanya itu. Dia akhirnya memutuskan tinggal di Negeri Sarang Paruya untuk beberapa waktu bekerja dan membuat kapal lagi. Saat itulah dia mendengar tentang kecantikan Dayakng Ilukng, hal ini membuat dia penasaran dan sangat ingin bertemu dengan putri yang didengarnya sangat cantik jelita itu. Atas bantuan para pemuda-pemudi sahabatnya akhirnya dia dapat bertemu dengan sang puteri yang cantik jelita tersebut. Patih Nan Sebatang sangat terpesona kala melihat kecantikan Dayakng Ilukng dan ia pun berniat mempersunting Dayakng Ilukng. Iapun mempersiapkan segala perlengkapan melamar menurut adat setempat anatara lain adat Pinang Sekayu yang sekarang masih di terapkan di lingkungan masyarakat adat Kabupaten Lamandau dan perlengkapan lainnya. Ketika semuanya sudah siap Patih Nan Sebatang dengan meminta bantuan tetua adat setempat datang meminang Dayakng Ilukng, sang puteri pun tak kuasa menolak lamaran Patih Nan Sebatang karena diapun sangat terpesona dan jatuh cinta pada ketampanan dan kesopanan pemuda tersebut saat pandangan pertamanya. Patih Nan Sebatang pun berlega hati setelah mendengar lamarannya diterima. Pernikahan pun dilaksanakan selama tujuh hari tujuh malam dengan sangat meriah, resmilah sudah Patih Nan Sebatang dan Dayakng Ilukng menjadi pasangan suami isteri yang serasi, Patih Nan Sebatang yang sangat tampan dan berbudi bahasa yang sopan dan bijaksana didampingi Dayakng Ilukng yang cantik jelita dan bersahaja.

Setelah mereka menikah Dayakng Ilukng melahirkan seorang putra buah cintanya dengan Patih Nan Sebatang dan  mereka memberinya nama Cenaka Burai. Cenaka Burai tumbuh besar layaknya anak seusianya, ketika usia Cenaka Burai menginjak kurang dari 3 bulan Patih Nan Sebatang berencana membawa Cenaka Burai pulang ke tanah kelahirannya di Pagaruyung, Minangkabau; untuk menengok keluarganya disana dan memperkenalkan putera keduanya tersebut, saat ia menyampaikan maksudnya kepada Dayakng Ilukng, Dayakng Ilukng sangat bersedih namun ia pun akhirnya merestui kepergian suami tercinta dan anak sematawayangnya Cenaka Burai yang sangat dikasihinya itu karena ketika dahulu kala ada kepercayaan yang diyakini oleh warga setempat kalau perempuan baru melahirkan tidak boleh melangkah lautan, Dayakng Ilukng pun akhirnya tak turut serta dengan mereka. Sebelum mereka berangkat Dayakng Ilukng memeras air susunya sebanyak 7 (tujuh) ”Roga Topaian” (Guci tempat menyimpan beras/membuat Tuak minuman keras dari Kab.Lamandau). Dayakng Ilukng hanya bisa menangis ketika mereka hendak berangkat menaiki kapal yang membawa Patih Nan Sebatang dan Cenaka Burai berlayar. Dayakng Ilukng berpesan kepada Patih Nan Sebatang agar menjaga dan selalu memberi susu yang dia bekalkan agar kesehatan anaknya selalu dijaga, ”Cenaka Burai anak kita yang kuharapkan dapat menemui aku apabila kita tak bisa berjumpa diwaktu nanti, jagalah dia dan besarkan dia agar menjadi kuat sepertimu. Kalau kau tidak membawanya pulang segera ajarilah dia berlayar agar suatu saat nanti kita tidak dapat bertemu anak kita Cenaka Burai lah yang datang kesini menemuiku untuk menebus kerinduanku padamu. Bawalah cincin pernikahan ku ini agar nanti menjadi bukti dan meyakinkan dia bahwa akulah ibunya…hu..hu..hu….” ucap Dayakng Ilukng menangis menjadi-jadi sembari menyerahkan cincinnya kepada suaminya Patih Nan Sebatang. Patih Nan Sebatang berjanji akan memelihara Cenaka Burai seperti pesan isterinya, ia pun meminta Dayakng Ilukng agar selalu sabar menunggu kedatangan mereka kembali, Patih Nan Sebatang juga meninggalkan bendera Tirai Serampun (Belum diketahui apakah bendera kapal atau kerajaan) pada isterinya. Mereka pun berlayar dan setelah berapa minggu berlayar sampailah mereka di kampung halamannya Pagaruyung, Minangkabau.

Selain membawa buah cintanya yaitu Cenaka Burai, satu-satunya kenang-kenangan yang mempersatukan cinta mereka adalah cincin pernikahan yang selalu disimpan baik oleh Patih Nan Sebatang. Ketika kerinduan dengan kampung halamannya sudah terobati Patih Nan Sebatang hendak membawa Cenaka Burai kembali ke negeri Sarang Paruya, dia membuat sebuah kapal yang besar yang indah dan megah diberi nama Sampuraga. Ketika mereka hendak berangkat cuaca lautan sangat buruk dan tidak memungkinkan mereka berangkat, keadaan cuaca tersebut berlangsung sangat lama bahkan bertahun-tahun sehingga tak terasa Cenaka Burai semakin bertambah besar dan menjadi pemuda yang gagah perkasa. Patih Nan Sebatang selama menunggu cuaca yang tidak menentu itu mulai mengajari anaknya berlayar di lautan kecil disekitar Pagaruyung, memang Cenaka Burai adalah anak yang pemberani dan tangguh iapun sangat cepat menguasai tekhnik berlayar. Cenaka Burai yang merindukan dan sangat ingin berjumpa dengan sang ibu akhirnya mengutarakan niatnya kepada ayahnya. Patih Nan Sebatang yang telah bertambah tua sering sakit-sakitan namun karena kerinduannya dengan isteri dan usia yang telah merenggut keperkasaannya, iapun memanggil Cenaka Burai dan berkata ”Cenaka Burai anakku, engkaulah satu-satunya yang menjadi kebanggaan ayah. Sekarang engkau berangkatlah berlayar menemui ibumu ke negeri Sarang Paruya katakanlah pada ibumu bahwa aku tidak bisa kesana dengan keadaanku seperti ini. Sampaikanlah rindu dendamku kepada ibumu, sampaikan permohonan maafku” ucap Patih Nan Sebatang dengan suara yang serak memendam rindu ingin bertemu dengan isteri tercinta Dayakng Ilukng dan sejuta penyesalan karena usia dan penyakit sehingga dia tak bisa ikut berlayar bersama anaknya. lalu Cenaka Burai menyiapkan perlengkapan berlayar karena diapun sangat ingin bertemu ibunya yang selalu diceritakan ayahnya sangat cantik dan rupawan. Setelah persiapan selesai ia kembali menemui ayahnya dan bertanya ”Ayah..!! aku siap berlayar! Tapi bagaiamana aku mengenali ibu, sedangkan aku tidak pernah bertemu dengannya” ucap Cenaka Burai penuh semangat namun ragu apakah bisa mengenali ibunya. Patih Nan Sebatang teringat pesan isterinya dan cincin pernikahan yang diberikan isterinya ketika mereka hendak berpisah kala ia membawa anaknya pulang, ia pun menyerahkan cincin tersebut kepada Cenaka Burai sembari berkata ”Bawalah cincin ini anakku, pakaikanlah dijarinya yang lentik itu. Rupa wajahnya seperti yang sering ayah ceritakan kepadamu nak”. Maka berangkatlah Cenaka Burai dengan rindu dendam dirinya dan ayahnya kepada ibunya yang telah lama berpisah. Dibekali dengan cincin pernikahan yang diberikan ayahnya, Cenaka Burai pergi berlayar sampai ke negeri Sarang Paruya.

Sesampainya disana dia pun bertanya kepada masyarakat disana dimanakah rumah ibunya, masyarakat membawanya menemui sang ibu yang sudah tua. Dayakng Ilukng yang juga sudah tua seperti suaminya ketika mengetahui kedatangan buah hatinya yang telah bertahun-tahun lamanya berpisah bukan main senangnya. Ketika mereka berhadapan hampir saja ia memeluk Cenaka Burai, tapi Cenaka Burai mendorong ibunya hingga terjerembab ke tanah ”Jangan menyentuhku, kau bukan ibuku..!!; Kata ayah ibuku sangat cantik bukan seperti kamu jelek dan keriput nenek tua” hardik Cenaka Burai sambil bertolak pinggang. Dia tidak percaya bahwa wanita asing di depannya tersebut adalah ibunya sendiri. Ayahnya telah menceritakan kecantikan sang ibu. Bagaimana mungkin wanita yang tua renta tersebut adalah puteri cantik yang diceritakan sang ayah? Dayakng Ilukng meyakinkan Cenaka Burai bahwa dialah ibu kandung yang telah melahirkannya. Dayakng Ilukng tidak puas diapun kembali meyakinkan Cenaka Burai ”Aku inilah ibumu nak, karena usia dan kerinduanku padamu dan ayahmulah yang membuat keadaanku seperti ini..huhuhu..” ucap Dayakng Ilukng sambil menangis. Walaupun begitu Cenaka Burai tidak bergeming dan dia teringat cincin ibunya yang dititipkan ayahnya, iapun ingin membuktikan lagi apa benar itu ibunya. Dikenakannya cincin pernikahan ayahnya kepada wanita tua itu. Karena usia telah membuat tubuh Dayakng Ilukng lebih kurus, cincin tersebut menjadi terlalu besar untuk melingkari jari-jarinya dan diapun semakin yakin bahwa wanita itu bukan ibunya. Cenaka Burai sangat marah dan kecewa karena tidak bisa bertemu dengan ibunya yang cantik jelita seperti cerita ayahnya selama ini dan memutuskan untuk pulang. Dayakng Ilukng kecewa lalu memeras air susunya dan berkata kepada anaknya penuh tangis, "Nak, kamu sudah meminum air susu ini dari tubuhku. Kalau kamu tidak mau mengakui aku ini adalah ibumu dan kalau kamu memang Cenaka Burai anak yang telah lahir dari rahimku, aku bersumpah demi langit dan demi bumi kamu akan terkena malapetaka yang maha dahsyat..!!!!". Dengan amarah di dalam dada Cenaka Burai berlayar pulang dan tidak memperdulikan apa yang dikatakan perempuan yang sebenarnya adalah ibunya itu. Dia tidak habis pikir, kenapa ada wanita tua yang bersikeras meyakinkan bahwa dia adalah ibunya, padahal ayahnya sudah jelas memberitahu ciri-ciri sang ibu. Belum jauh kapal bernama Sampuraga tersebut meninggalkan Sarang Paruya, tiba-tiba langit mendung hanya sebesar ”Timpa” (tempat menjemur padi) lalu badai menghadang. Kapalnya oleng diombang-ambingkan ombak besar. Ketika kapalnya hampir karam, Cenaka Burai teringat kutukan wanita tua tersebut. Hati kecilnya tiba-tiba disadarkan bahwa dia baru saja durhaka pada ibunya sendiri. Diapun berteriak kepada ibunya "Ibu, ibu, aku telah jahat kepadamu, ternyata kau memang ibuku!" ucapnya memohon ampun. Tiba-tiba terdengar suara ibunya, "Nak, sudah jatuh terlampau. Tidak mungkin keputusan ditarik kembali. Kutukan sudah terjadi." Lalu halilintar menggelegar dan menghantam Cenaka Burai dan Kapal Sampuraga miliknya tersebut hingga hancur berkeping-keping. Cenaka Burai berubah menjadi batu dan puing Kapal Sampuraga miliknya berubah menjadi bukit batu pula yang sekarang dinamakan Bukit Sampuraga, yang terletak di desa Karang Besi, Kecamatan Belantikan Raya, Kabupaten Lamandau.

Cenaka Burai adalah nama tokoh dalam cerita rakyat suku Dayak Tomun ini yang berasal dari Kabupaten Lamandau, Propinsi Kalimantan Tengah, Indonesia. Legenda Bukit Sampuraga dapat dilihat buktinya yang menurut warga Lamandau yaitu sebuah bukit yang mirip reruntuhan kapal yang telah menjadi batu di desa Karang Besi, Kabupaten Lamandau, tepatnya 2 kilometer dari tepian sungai Belantikan, dinamai menurut legenda ini. Bukit Sampuraga, demikian nama obyek wisata Pemerintah Kabupaten Lamandau tersebut, diyakini memiliki bagian dek dan layar kapal Sampuraga. Disungai di daerah tersebut pun ada batu yang mirip tali, karung beras dan telur ayam. Di Sungai Lamandau di Kelurahan Tapin Bini tidak jauh dari Desa Karang Besi terdapat Batu Bangkai mirip manusia sedang tidur dengan panjang sekitar 10 m yang menurut orang tua dulu adalah manusia yang menjadi batu kemungkinan awak Kapal Sampuraga milik Cenaka Burai.

Cerita ini saya buat menurut versi masyarakat Lamandau di DAS Belantikan, Kecamatan Belantikan Raya. Karena penulis belum menggali sejarah versi dari desa Kudangan/Kudangan Badak Balai Ruwai Topitn Tona Pongkalan Batu, Kecamatan Delang yang masih menyimpan bukti sebuah bendera (TIRAI SERAMPUN) yang dimiliki Patih Nan Sebatang.

9 komentar:

Komentar anda